Ketika saya menyisir pantai berpasir putih dengan pacar satu fakultas, kami suka membalik batu dan berdiskusi: ekosistem mikro apa yang ada di balik batu itu dan bagaimana interaksinya. Penduduk di ekosistem mikro dibalik batu di pantai pasir itu ibarat kita para periset. Di luar ekosistem kecil tempat ia tinggal, ada ekosistem pantai karang, dan tetangganya yang lebih besar di seberang berupa ekosistem mangrove atau rumput laut. Ketiganya saling terikat dan bertukar input-output.
Jurnal terindeks global bereputasi itu ibarat potongan mikro sampah organik (detritus) yang menjadi input-output pemukim di balik batu di pantai pasir atau pemukim lain di ekosistem pantai yang lebih besar dan yang besar lain di seberangnya. Detritus terindeks global adalah detritus yang fungsinya kompatibel bagi ekosistem kecil dan besar dimana saja. Bila detritus ini diketahui berguna bagi banyak ekosistem, maka ia bereputasi. Semakin universal kompatibilitasnya maka ia semakin bereputasi tinggi.
Stop ngomongin analogi, sekarang ngomongin sudut pandang pelaku riset agar nggak ribet dengan analogi.
Jurnal terindeks global, dari pengalaman saya adalah yang menggunakan bahasa internasional. Bukan hanya Inggeris, tapi juga Jerman. Jangan tanyakan bahasa yang lain karena saya tidak berpengalaman. Demikianlah bila artikel kita tampil di jurnal dengan bahasa internasional, maka ia sudah terindeks global. Apakah itu untuk jurnal apa pun dari negara mana pun? Well, coba saja inputkan artikel yang kita produksi, lalu tunggu pendapat asesor. Nggak usah kebanyakan teori.
Geser ke terminologi bereputasi, ada istilah kuartil (Q) yang mengklasifikasikan sebuah jurnal memiliki reputasi biasa, menengah, atau tinggi. Yang saya dengar dari sumber resmi, keputusan ini mempertimbangkan dua metrik di dua benua yang start lebih dahulu dengan publikasi ilmiah. SCImago journal rank dan Web of Science. Metrik ini membagi banyak judul jurnal dari banyak publisher berdasar tema. Jurnal yang diterbitkan dalam satu tema diklasifikasikan berdasar impact (factor) atau mudahnya bagi periset adalah kemanfaatan atau jumlah sitasinya. SCImago yang berasal dari gabungan beberapa institusi di Spanyol mempertimbangkan Scopus atau sitasi yang tercatat oleh Penerbit Elsevier. Sedang Web of Science murni buatan swasta Clarivate Analytics dibawah bendera Thomson Reuters. Mengapa hanya dua? Ya untung hanya dua! Kalau lebih, kita sebagai periset akan lebih sibuk ikut-ikutan ngurusi peraturan ketimbang memilih mau publish kemana.
Dampak buat kita, apakah kita diuntungkan hanya bila publish di dua bendera publisher besar tersebut? Ternyata tidak. Coba lihat list jurnal dibawah bendera Springer-Nature (Jerman), Taylor & Francis (AS), atau publisher mikro di negara mini ada juga yang masuk kategori Q tinggi. Bahkan publisher yang terindikasi predatory juga bisa bereputasi tinggi .. Oops.
Kalau boleh menyederhanakan pilihan, kita kepiting kecil yang mengkonsumsi detritus dan kemudian memproduksi detritus baru dari be-ol kita mengecek dulu seberapa unik dan seberapa kuat detritus yang kita hasilkan. Kemudian kita bisa cocokkan dengan Q yang tersedia di SCImagojr atau WoS. Sederhana bukan? Bagaimana kalau setelah terbit kemudian tidak diakui oleh asesor dan sistem yang berjalan di kantor? Santai. Kalau detritus kita Q1, kita tidak perlu khawatir: funding di luar ekosistem kita akan ‘membeli’ karya unik dan kuat kita. Mungkin dengan sekedar sitasi, mungkin dengan kerjasama riset, atau kita sekedar dikontrak dengan gaji bulanan di ekosistem yang lain sambil tetap tercatat sebagai penduduk ekosistem dibawah batu di pantai pasir.
Sebagai penutup, apakah Indonesia perlu membuat rank sendiri? Saya kira tidak; untuk dua alasan. Alasan pertama, kebudayaan sungkan kita kepada orang lain terlebih yang lebih tua akan melunturkan netralitas produksi ilmu. Maaf, profesor yang sepuh sering kita benarkan dan tidak baik dikritisi. Di sisi lain, kalau ada kesempatan melakukan peer review atas judul artikel yang akan tayang di conference international buatan Indonesia, sangat sedikit yang tertolak. Menitipkan penyelenggaraan conference lokal dibawah bendera manajemen conference internasional sudah menjadi budaya untuk mengejar kum. Alasan kedua, ekosistem yang diciptakan oleh SCImagojr dan WoS sementara ini dan mungkin untuk waktu yang lama sudah cukup untuk menjadi tumpangan bagi tumbuhnya ekosistem riset di Indonesia agar sampai ke ekosistem riset seberang lautan dan mendorong ‘kepiting pasir’ menjadi kompetitif.
Ilmu itu tidak berbatas administrasi atau pun geografi. Dan ilmuwan semestinya adalah aset dunia sebagai sebuah kesatuan. Hm.. kalimat akhirnya terasa keren ...
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. …” (49.Al-hujuraat: 13 bagian awal)
Terima kasih anggota WAG atas diksusinya. Itu memberi saya kesempatan mengorganisir informasi yang berseliweran di WAG tentang KKM di Peraturan BRIN No 1 Tahun 2023 Pasal 10 (a) soal jurnal ilmiah terindeks global bereputasi.