
Jaman di BPPT II/18, mas Agus berseloroh dengan tesis: “Beda pendapat itu tidak masalah. Yang masalah itu kalau beda pendapatan”.
Kalimat itu terasa lucu dan diucapkan dengan tawa lebar, tapi menurut saya itu adalah kesimpulan dari pelajaran agama dari dua kurikulum yang berbeda. Di kurikulum pertama, bila dua fuqaha (ahli hukum) berbeda pendapat tentang sebuah masalah yang sama, mereka bersepakat bahwa pendapat hukumnya benar tapi juga tidak menyalahkan pendapat hukum yang berbeda karena sama-sama punya rujukan data (dalil) dan cara analisis sendiri. Di kurikulum kedua, agama membuatkan platform sedekah untuk menyelesaikan permasalahan perbedaan kepemilikan harta pribadi umat.
Di lingkungan SciWriters juga berlaku tesis mas Agus itu. Di kurikulum pertama, SciWriters sudah semestinya mafhum. Di kurikulum kedua, ada fakta bahwa tiap kasta SciWriters didukung oleh tunjangan kinerja yang berbeda bahkan sampai timpang. Di dua kasta teratas madya dan utama, sejak awal SciWriters bergabung ke BRIN keduanya mengalami bonus perbedaan yang makin lebar. Utama mendapat bonus kenaikan tiga setengah kali lipat kenaikan yang diterima madya. Agar lebih ruwet, saya juga menambahkan statistik keluarga Indonesia bahwa kasta utama sudah selesai dengan urusan mengasuh keluarga, sedang kasta madya lagi butuh-butuhnya.
Bagaimana menyikapi perbedaan yang dari sisi numerik (kenaikan bonus) lebar dan dari sisi sosial (statistik usia penerima tunjangan) lebih lebar lagi? Karena perbedaan itu ada di kurikulum kedua, solusi yang serasi dengan panduan agama kita adalah sedekah. Sedekah, dalam bahasa agama mempunyai makna luas karena zakat dalam bahasan etimologi juga sedekah. Hanya hukumnya yang fardhu saja yang membuat prosentase nominalnya kecil, karena philosophically ia ada dalam konteks melatih hati untuk berkontribusi menyelesaikan perbedaan pendapatan. Diluar zakat, konteks fiqh sedekah yang sunnah tidak diurus prosentasenya agar bisa di-adjust dengan kekinian tiap SciWriters. Yang tampak dari sudut pandang filsafat, ujung latihan fardhu-sunnah sedekah itu nantinya menjadi gerakan hati saat SciWriters bertemu dengan perbedaan pendapatan di dunia nyata. Titel hasil latihan itu adalah sebutan shadiqin (=orang yang senantiasa membenarkan) bagi seseorang yang gerakan hatinya memudahkan bersedakah. Sebaliknya, orang yang me-maintain perbedaan pendapatan disebut pelitin. Maaf, kalau menggunakan terminologi bakhil kedengarannya nggak enak bukan?
Lalu apa urusan perbedaan tunjangan, jalan tengah sedekah, dan sosek SciWriting? Well, kita tahu bahwa kenaikan grade madya dan utama mempunyai relasi dengan KKM. Maka atas nama STKB, seorang madya yang memimpin kegiatan didukung oleh perbedaan yang dipunyai seorang utama. Kalau utamanya nggak bersedia? Hm.. boleh jadi dalam statistik sosek pendapatan ia ada dalam outlier, atau ia sudah merasa cukup dengan dirinya sendiri, atau maafkan kalau saya keliru.
Diluar sistem shadiqin dan infra-shadiqin itu, masih ada jalan fiqh lain dari kultur yang juga dibawakan oleh agama yang bisa membantu menengahi perbedaan pendapatan: nafsi-nafsi alias “mbayar dhewe-dhewe”. Ini sudah lekat dengan kehidupan kita sebelum era SciWriting saat jadi mahasiswa, betul? Diluar kultur kita dan Indonesianis soal jalan tengah itu, saat ngobrol di Bakoel Koffie, ada juga frasa “We go Dutch”. Atau dalam bahasa literal “we split the bill”.
Jadi kalau di STKB tidak ada utamanya, “let’s go Dutch” bisa diambil sebagai jalan tengah. Yang demikian semestinya lebih menjamin jadwal riset tetap mengalir meski STKB dari kubu birokratis menggunakan fiqh sedang tidak mendukung fiqh yang dijalani kubu teknokratis. Mudah-mudahan dengan “coro Londo” itu tiap teknokrat dalam satu STKK termasuk dalam golongan shadiqin karena mereka jadi tidak ribet dengan urusan membenarkan temuan SciWriters setelah methodologi dan analisisnya terbenarkan oleh waktu.
podho karo pas nang wardoy ya? :-)